Selasa, 09 Desember 2008

Aku cuma Sebuah Meja


Ya , aku memang cuma meja kerja di sebuah kantor megah. Aku ditempatkan di ruang kerja kepala kantor. Dan sebagaimana umumnya meja kerja, aku selalu diam saja.

Aku tetap berada di ruang kepala kantor itu. Kini aku melihat kepala kantor yang baru, sebagai pengganti kepala kantor yang lama yang gemar berkencan dengan sekretarisnya itu. Menurut kabar yang ku dengar, kepala kantor lama dan sekretarisnya yang genit itu tewas dalam sebuah kecelakaan mobil di jalan tol.

Melihat kepala kantor yang baru itu, aku merasa sedikit gembira. Penampilannya jauh lebih rapi. Hebatnya lagi, setiap berhadapan dengan sekretaris pribadinya yang cantik, tak pernah memperlihatkan tanda-tanda mencurugakan. Aku juga tidak melihat gelagat nakal pada dirinya. Aku yakin, kepala kantor yang baru itu adalah pria yang baik, yang tidak ingin mengorbankan mertabatnya dengan berselingkuh, meski kesempatan untuk mengencani sekretaris pribadinya yang cantik itu selalu ada setiap hari.

Berbulan-bulan, aku tetap memiliki keyakinan baha kepala kantor yang baru itu benar-benar orang yang baik dan terhormat. Sampai kemudian, siang itu, aku tiba-tiba terkejut melihatnya menerima tamu. Tampak tamu itu adalah seorang pengusaha besar, berperut gendut, dan berkepala botak.

“tolonglah , pak. Saya bersedia memberikan komisi dua puluh persen, kalau bapak bersedia membantu saya mendapatkan kredit di bank itu, “ rayu tamu itu dengan tersenyum-senyum.

“maaf, saya tidak bisa membuat surat sakti. “

“ ah, jangan bicara begitu, pak. Semua orang tahu baha bapak adalah pejabat tinggi yang sangat dekat dengan Presiden. Bapak pasti bisa membuat surat sakti. “

“ baiklah. Tapi kalau ada apa-apa, jangan sebut-sebut nama saya. Sebab, kalau nama saya di sebut-sebut oleh pers, maka sama halnya dengan mencemarkan nama baik Presiden .”

Aku masih tetap berada di ruang kepala kantor itu, meski zaman sudah berubah. Konon , sekarang adalah era reformasi kedua. Di atasku ada kelender tahun 2020. kepala kantor yang gemar berkolusi dengan konglomerat itu sekarang sudah diganti.

Kini , kepala kantor yang baru tampak baik. Sehari-hari selalu masuk kerja tapat waktu. Dia jarang bicara, apalagi bergurau dengan sekretarisnya. Kerjanya nyaris cuma menandatangani surat-surat, selain menerima telepon dari atasan atau sejawatnya.

Dan sebagai meja kerja, aku mampu membaca pikiran dan perasaanya. Misalnya, hampir setiap hari ia berfikir bagaimana caranya mendapat uang untuk mendanai parpol yang didukungnya agar pada pemilihan presiden mendatang, ia dicalonkan.

Ia berfikir, siapa pun tidak akan mampu memimpin Negara ini dengan baik. Orang di sini tak biasa hidup berdemokrasi. Dan orang pun tak cocok dipimpin oleh pemerintahan totaliter di bawah komando militer. Sebab, menurutnya, elite politik sipil maupun militer adalah manusia-manusia rakus dan munafik. Mereka hanya idealis ketika belum mendapatkan kekuaaan. Dan jika mereka sudah berkuasa, maka akan langsung berubah menjadi monster-monster buas dan kejam terhadap rakyat kecil.

Ia sering tersenyum geli, setiap kali habis berfikir yang bukan-bukan tentang masa depan Negara. Ia sadar, pikirannya itu sangat liar, dan sudah tentu melanggar undang-undang. Dan ia pun sadar pikirannya yang bukan-bukan itu sering muncul karena keadaan sekarang memang angat buruk. Misalnya banyak rakyat yang semakin miskin , sementara itu elite politik semakin kaya raya. Banyak jenderal yang semakin kaya raya, sementara banyak prajurit berpangkat rendah semakin miskin dan terpaksa mencari tambahan penghasilan dengan menjadi pengawal Bandar judi atau pengawal mafia penjarah kayu di hutan-hutan.

“Dari pada semakin rusak, lebih baik Negara ini dibubarkan saja. Alangkah indahnya, “ gumamnya sambil menerawang dengan wajah ceria. Lalu ia menguap, sebelum kemudian meletakkan wajahnya di permukaanku. Tampak ia sangat letih, lalu tertidur pulas.

Dan sebagai meja kerja, aku pun bisa membaca impiannya di siang bolong itu. Ia bermimpi indah, menjadi presiden terakhir yang berhasil membubarkan Negara. Ia dielu-elukan sebagai pahlawan. Dirinya dijadikan patung pahlawan di semua provinsi yang telah menjadi Negara-negara baru yang langsung merdeka dan berdaulat. Patung-patung dirinya menghiasi pusat-pusat kota provinsi yang telah menjadi ibu kota metropolitan. Bahkan patung dirinya juga berdiri tegak di tengah air mancur di bekas ibu kota Negara yang telah berubah menjadi Taman Makam Presiden Terakhir.

Karya : maria Magdalena bhoernomo

0 komentar:

Posting Komentar